Senin, 21 Mei 2012

KISAH BEKAS KENEK, JADI PENGUSAHA SUKSES DI LONDON

Suara Pance Pondaag menyanyikan Demi Kau dan Si Buah Hati menemani Firdaus Ahmad menyetir Mercedes 120 CDI di jalanan London yang padat pada suatu siang akhir Februari lalu. Mobil jembar yang sanggup mengangkut sepuluh orang itu adalah kendaraan "dinas" laki-laki 54 tahun ini dari rumah  ke restorannya.

Nusa Dua Restaurant berdiri di sudut Dean Street 11, Soho, di jantung ibu kota Inggris itu. Bangunan tiga lantai ini satu-satunya restoran Indonesia di kawasan belanja dan tempat nongkrong anak-anak muda itu. "Sejak Presiden Barack Obama datang ke Indonesia, menu favorit di sini nasi goreng," kata Daus.

Selain itu, ada banyak makanan khas Indonesia di daftar menu: ayam kremes, sayur asem, sambal terasi, tahu isi, soto ayam, tempe, dan kerupuk udang. Saya makan di sana ketika restoran masih tutup menjelang sore. Tapi, di depan pintu, pelanggan dari pelbagai ras yang akan makan malam sudah antre mengular.

Resto ini adalah buah kerja keras Daus selama 20 tahun. Ia tiba di London pada akhir 1981 dengan tiket pesawat yang dikirim saudaranya, sopir di Kedutaan Besar Indonesia di London. Daus nekat berangkat ke Inggris karena penghasilan sebagai kondektur angkutan kota Kampung Melayu-Bekasi tak menentu.

Mendarat di Bandar Udara Heathrow yang sibuk, lulusan SMA 1 Indramayu ini termangu dua jam. Ia tak tahu jalan keluar. Ia amati setiap penumpang. Asumsinya, orang yang kusut pasti baru mendarat setelah penerbangan yang jauh. Ia ikuti mereka menyeret koper. "Saat itu saya baru tahu arti 'exit' itu keluar," katanya, terbahak.

Daus lalu bekerja di restoran Indonesia sebagai pencuci piring. Tapi resto ini tak berumur lama. Pemiliknya ketahuan mengakali pajak. Pemerintah mengambil alih dan menjualnya. Pembelinya adalah tukang masak asal Malaysia. Resto itu kini jadi rumah makan Asia yang tukang masaknya adalah pemilik lama, bekas majikan Daus.

Seorang pengusaha Singapura kemudian mendirikan Nusa Dua Restaurant. Daus diajak bergabung dan naik pangkat jadi chef. Tapi perkongsian ini hanya bertahan tiga tahun. Pengusaha itu tak sanggup membayar cicilan modal. Royal Bank of Scotland (RBS) menyitanya. Daus kelimpungan tak punya pekerjaan.

Pada 1991 ia sudah menikahi Usya Suharjono, perempuan manis yang tengah kuliah kesekretariatan di London. Ayah Usya adalah wartawan radio BBC seksi Indonesia. Ia mengikuti orang tuanya ke London setelah lulus SMA 2 Jakarta Pusat pada 1983. Daus punya ide mengambil alih Nusa Dua.

Usya maju sebagai negosiator dengan bank karena ia fasih berbahasa Inggris. Daus hingga kini masih gagap. Kepada tiga anaknya, ia berbicara dalam bahasa Indonesia, tapi dijawab dalam bahasa Inggris. Usya membujuk bahwa resto itu merugikan RBS karena tak mendatangkan untung, sementara pajak tetap harus dibayar.

Daus meyakinkan mereka akan mengelola rumah makan dengan jaminan membayar cicilan 1.000 pound tiap bulan tepat waktu. ”Jika tahun pertama pembayaran tak jelas, bank silakan ambil alih lagi,” katanya. Deal. RBS ternyata setuju.

Sejak itu, Daus yang pegang kendali. Ia belanja, ia memasak, ia pula yang melayani pembeli. Karena makanan racikannya enak, pelanggan lama kembali, dan pembeli baru berdatangan. Restorannya mulai untung dengan omzet 10 ribu pon (Rp 140 juta) setiap pekan. Dalam waktu enam tahun, utang 100 ribu pound lunas.

Tabungannya mulai kembung. Daus membeli sebuah rumah seluas 300 meter persegi seharga Rp 5,2 miliar di sudut jalan dekat sekolah anaknya. rumah sembilan kamar itu kini disewakan kepada pelancong asal Indonesia dengan tarif 19,5 pound semalam. Meski tak ada papan nama, orang tahu rumah  bata merah di sudut jalan kompleks elite Colindale itu ”Wisma Indonesia”.

Daus-Usya tinggal tak jauh dari situ. Tiga mobil nangkring di garasi. Semuanya Mercedes yang harga satu unitnya rata-rata Rp 1,4 miliar. Daus kerap bolak-balik London-Bekasi untuk menengok keluarga besarnya di Jatiasih.

Setelah semua pencapaian ini, Daus hanya punya satu cita-cita: pulang kampung setelah anak-anaknya mandiri dan membuat taman pendidikan agama untuk anak-anak miskin. (*/Tempo.co)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar